Polemik Tanah Kampung Lapak Cilegon, Warga Tuding Ada Mafia Lahan

Warga Kampung Lapak Cilegon menuding digusur tanpa dasar hukum. Dua warga tewas, dan dugaan mafia tanah mencuat. Mediasi dijadwalkan besok.

CILEGON | HITAM PUTIH – Polemik penggusuran lahan di Lingkungan Priuk, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon, terus menuai sorotan publik. Warga Kampung Lapak menuding telah digusur paksa tanpa dasar hukum dan tanpa adanya putusan pengadilan.

Ketua Umum Aliansi Banten Birokrasi, H. Suwarni, menyatakan warga telah menempati lahan tersebut sejak 1988 dan hidup damai selama lebih dari tiga dekade. “Hentikan penggusuran ilegal, bongkar mafia tanah, dan pulihkan hak-hak warga Kampung Lapak,” ujarnya, Selasa (11/11/2025).

Persoalan bermula pada 2022, saat seorang berinisial H mengklaim memiliki lahan berdasarkan fotokopi Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 528, 525, dan 516. Namun, warga menilai dokumen tersebut belum pernah diverifikasi secara resmi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cilegon.

Sejak 2023, warga mengaku menghadapi serangkaian intimidasi hingga pemagaran beton setinggi 2,5 meter di sekitar permukiman. Beberapa rumah permanen dan semi permanen diratakan tanpa proses hukum yang sah.

Kasus ini semakin pelik ketika seorang oknum Ketua LSM berinisial DJ disebut membawa bundelan buku tanah sebanyak 57 bidang, yang merupakan dokumen negara. Dugaan kebocoran data dari internal BPN memunculkan kecurigaan adanya kolusi antara pejabat dan kelompok tertentu.

“Kami meminta Kementerian ATR/BPN dan Mabes Polri menyelidiki kebocoran dokumen tersebut. Negara harus hadir untuk menegakkan keadilan,” tegas Suwarni.

Warga juga mengungkap adanya dua korban jiwa yang meninggal dunia tertimpa reruntuhan rumah saat diminta membongkar sendiri tempat tinggalnya. “Ini bukan sekadar sengketa tanah, tapi pelanggaran kemanusiaan,” ujar Suwarni.

Selain itu, sejumlah pedagang kecil di sekitar Mal Ramayana Cilegon mengaku dipaksa menerima uang “kerohiman” antara Rp2 juta hingga Rp15 juta. Kompensasi itu dinilai tidak sebanding dengan nilai rumah dan usaha yang telah mereka bangun selama puluhan tahun.

Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Banten sempat memfasilitasi mediasi antara warga, Pemkot Cilegon, dan pihak pengklaim lahan. Namun, pertemuan tersebut gagal karena pihak H tidak hadir.

“Kami berharap Pemkot Cilegon segera mengambil langkah tegas agar masyarakat tidak terus hidup dalam ketakutan,” kata Suwarni menambahkan.

Warga Kampung Lapak kini hidup di bawah bayang-bayang tembok beton dan ketidakpastian hukum. Mereka berharap mediasi lanjutan yang dijadwalkan pada Rabu, 12 November 2025, dapat mempertemukan seluruh pihak, termasuk H, agar solusi keadilan dapat ditemukan.

“Negara wajib hadir bukan sebagai algojo, tapi sebagai pelindung. Kami hanya ingin kejelasan status dan proses hukum yang adil,” tutup Suwarni.

Status terkini: Mediasi lanjutan dijadwalkan berlangsung besok, menunggu konfirmasi kehadiran pihak pengklaim lahan. (Nani)