Fenomena Dinasti Politik, Warisan Para Presiden Indonesia

Warisan kekuasaan secara kekeluargaan merupakan ciri politik lokal yang telah ada selama berabad-abad.

Dinasti Politik

Politik Dinasti atau Politik Kekerabatan telah menjadi fenomena menarik dalam peta kekuasaan politik Indonesia. Kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang, terikat oleh ikatan keluarga atau kerabat, dan seringkali diwariskan secara turun-temurun, telah menjadi aspek integral dalam sejarah politik Indonesia.

Sistem ini tidak hanya berakar pada masa lalu ketika Indonesia terbagi menjadi beberapa kerajaan. Bahkan, hingga saat ini, dinasti politik masih eksis, meskipun terbatas pada lingkup keluarga Presiden Indonesia. Contohnya, Presiden Soekarno, yang menjabat dari 1945 hingga 1967, memiliki keturunan seperti Megawati Soekarno Putri, yang menjadi Presiden Indonesia kelima dan saat ini mengepalai partai PDI-P.

Lingkup dinasti ini terus meluas; suami Megawati mengepalai MPR RI, anak bungsunya menjadi anggota DPR RI, cucunya menjabat sebagai anggota DPR RI dari wilayah Jawa Timur, dan putrinya, Puan Maharani, mengepalai DPR RI. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada keluarga Soekarno; Presiden Soeharto juga memperkenalkan putrinya, Titiek Soeharto, ke dalam dunia politik.

BACA JUGA :  Ilmu Politik dalam Perspektif Multidisipliner

Keberlanjutan dinasti politik tercermin pada era Presiden B.J. Habibie, yang melibatkan keponakannya dalam pemerintahan daerah. Abdurrahman Wahid juga tidak terlepas dari pola ini, dengan adik dan keponakannya menduduki posisi strategis di DPR RI dan pemerintahan.

Demikian pula, masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak terhindar dari politik dinasti. Anak-anaknya terlibat dalam dunia politik, termasuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum dan mengambil peran penting di fraksi politik.

Sekarang, politik dinasti kembali menjadi sorotan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Meskipun pemilihan Jokowi awalnya dianggap sebagai tonggak penting bagi demokrasi Indonesia, kenyataannya berbeda. Keluarga Jokowi, termasuk putra sulungnya yang mengepalai kota, menantunya yang menjadi Walikota Medan, dan putra bungsunya yang menjadi Ketua Umum PSI, menciptakan wacana baru tentang politik dinasti.

BACA JUGA :  Apakah Marhaenisme Masih Relevan Sebagai Ideologi Politik?

Isu terbaru adalah keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Keputusan ini memperkuat dugaan masyarakat akan tumbuhnya politik dinasti di bawah kepemimpinan Jokowi.

Faktanya, dinasti politik menjadi norma di setiap periode kepresidenan, memberikan kesan bahwa ini adalah bagian alami dari politik Indonesia. Namun, jika masyarakat terus menerima warisan politik ini sebagai hal biasa, demokrasi Indonesia berisiko mengalami degradasi menjadi sistem oligarki.

Penting bagi pemegang kedaulatan tertinggi, yaitu rakyat, untuk bersikap tegas dan cerdas dalam memilih pemimpin bangsa. Pemilihan kepala negara tidak boleh semata-mata didasarkan pada popularitas dan latar belakang keturunan presiden. Dalam Pemilu 2024 mendatang, warga Indonesia diharapkan memilih calon presiden dan wakil presiden yang benar-benar berkualitas, demi memperkuat demokrasi dan mencegah politik negara jatuh ke tangan sistem warisan yang telah lama ada.

BACA JUGA :  PEMILU 2024 : Era Revolusi Media

Oleh Renata Agnes Tasya Silitonga, Mahasiswa Semester 1 Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *